SEJARAH PERKEMBANGAN KERAJAAN HINDU-BUDHA DI INDONESIA
Indonesia
mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan
dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti
India, China dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari
India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan
sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok
yakni Musafir Budha Pahyien.
Dua
kerajaan besar pada zaman ini adalah Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa
abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat
di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya
Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya
menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14
juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur,
Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada
berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya
adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari
masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa,
seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Masuknya Islam pada sekitar abad ke-12 secara perlahan-lahan menandai akhir dari era ini.
Alur waktu

300
- Indonesia telah melakukan hubungan dagang dengan India Hubungan
dagang ini mulai intensif abad ke-2 M. Memperdagangkan barang-barang
dalam pasaran internasional misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan,
wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan
kayu cendana, kapur barus, cengkeh. Hubungan dagang ini memberi
pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya
ajaran Hindu dan Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem
pemerintahan.
300
- Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok.
Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa Shien dan
Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan, barang-barang
yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.
400
- Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah
kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain
candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam.
671
- Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat dari
Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tatabahasa
Sansekerta, kemudian ia singgah di Melayu selama dua bulan, dan baru
melanjutkan perjalanannya ke India.
685
- I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun
untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam
bahasa Tionghoa.
692
- Salah satu kerajaan Hindu di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan
berkembang menjadi besar dan pusat perdagangan yang dikunjungi pedagang
Arab, Parsi, Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur
barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Sebagian dari Semenanjung
Malaya, Selat Malaka, Sumatera Utara, Sunda, Jambi termasuk kekuasaaan
Sriwijaya. Pada masa ini perkembangan kerajaan Sriwijaya berkaitan
dengan masa ekspansi Islam di Indonesia dalam periode permulaan.
Sriwijaya dikenal juga sebagai kerajaan maritim.
922
- Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok telah
datang kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah
menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar Tiongkok.
1292
- Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Aceh dalam
perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco Polo
berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.
1345-1346
- Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam perjalanannya ke
dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang
sangat penting, tempat kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok. Ibn
Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra adalah seorang pengikut Mahzab
Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.
1350-1389
- Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan
patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan Indonesia
bahkan Jazirah Malaka sesuai dengan "sumpah Palapa" Gajah Mada yang
ingin Nusantara bersatu.
Kerajaan Hindu/Buddha
Kerajaan Kutai
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kediri
Kerajaan Singhasari
Kerajaan Majapahit
Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Mataram (Hindu)
Kerajaan Melayu Tua - Jambi
Kerajaan Sunda
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Tarumanagara
Kerajaan Kutai Martadipura
Kutai
Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara dan
seluruh Asia Tenggara. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan
Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama
tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama
Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara
jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat sedikit
informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah.
Yupa
Informasi
yang ada diperoleh dari Yupa / Tugu dalam upacara pengorbanan yang
berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama
bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari
salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan
Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena
kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor lembu kepada brahmana.
Mulawarman
Mulawarman
adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan
Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Jerman bila dilihat dari
cara penulisannya. Kudungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa
(Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kudungga sendiri diduga belum
menganut agama Budha
Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah raja
pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai
pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang
artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan
salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman.
Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan
Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir
seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan
makmur.

Huruf Palawa – Kerajaan Kutai
Kerajaan
Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya
komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar
namanya. Bahkan, di tahun 1365, sastra Jawa Negarakartagama hanya
menyebutkannya secara sepintas lalu.
Berakhir
Kerajaan Kutai
berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam
peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum
Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda
dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Kutai Kartanegara adalah
kesultanan Islam.
Nama-Nama Raja Kutai
1. Maharaja Kudungga
2. Maharaja Asmawarman
3. Maharaja Irwansyah
4. Maharaja Sri Aswawarman
5. Maharaja Marawijaya Warman
6. Maharaja Gajayana Warman
7. Maharaja Tungga Warman
8. Maharaja Jayanaga Warman
9. Maharaja Nalasinga Warman
10. Maharaja Nala Parana Tungga
11. Maharaja Gadingga Warman Dewa
12. Maharaja Indra Warman Dewa
13. Maharaja Sangga Warman Dewa
14. Maharaja Singsingamangaraja XXI
15. Maharaja Candrawarman
16. Maharaja Prabu Nefi Suriagus
17. Maharaja Ahmad Ridho Darmawan
18. Maharaja Riski Subhana
19. Maharaja Sri Langka Dewa
20. Maharaja Guna Parana Dewa
21. Maharaja Wijaya Warman
22. Maharaja Indra Mulya
23. Maharaja Sri Aji Dewa
24. Maharaja Mulia Putera
25. Maharaja Nala Pandita
26. Maharaja Indra Paruta Dewa
27. Maharaja Dharma Setia
Kerajaan Kalingga

Kalingga
adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya
berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad
ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok.
Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki
peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Putri
Maharani Shima, PARWATI, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh
yang bernama MANDIMINYAK, yang kemudian menjadi raja ke 2 dari Kerajaan
Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah
dengan raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasenawa. Sanaha dan
Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).
Setelah Maharani Shima
mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja
Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian
mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian
Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan
atau Bumi Sambata, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Kerajaan Kadiri/ Kediri

Kerajaan
Kadiri atau Kediri adalah kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian
timur, berdiri sekitar tahun 1045-1221 M. Nama-nama lainnya yang juga
dikenal untuk menyebut kerajaan ini adalah Kerajaan Panjalu atau
Kerajaan Dhaha.
Latar belakang
Kerajaan ini merupakan salah
satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 (satu lainnya
adalah Janggala), yang dipecah oleh Airlangga untuk dua puteranya.
Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk menghindari
perselisihan dua puteranya, dan ia sendiri turun tahta menjadi pertapa.
Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
Perkembangan
Tak
banyak yang diketahui mengenai peristiwa di masa-masa awal Kerajaan
Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri
Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali
dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di
Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu
Dharmaja, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.
Demikian pula Mpu Tanakung mengarang kitab Kakawin Lubdaka dan
Wertasancaya.
Raja terkenal Kediri adalah Jayabaya (1135-1159).
Jayabaya di kemudian hari dikenal sebagai "peramal" Indonesia masa
depan. Pada masa kekuasaannya, Kediri memperluas wilayahnya hingga ke
pantai Kalimantan. Pada masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan
subordinat di bawah Kediri. Waktu itu Kediri memiliki armada laut yang
cukup tangguh. Beliau juga terkenal karena telah memerintahan
penggubahan Kakawin Bharatayuddha, yang diawali oleh Mpu Sedah dan
kemudian diselesaikan oleh Mpu Panuluh.
Raja Kertajaya yang
memerintah (1185-1222), dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan meminta
rakyat untuk menyembahnya. Ini menyebabkan ia ditentang oleh para
brahmana. Kertajaya adalah raja terakhir dari kerajaan Kadiri.
Penemuan
Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai
peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membuka lebih banyak tabir
misteri.
Runtuhnya Kadiri
Di Tumapel, wilayah bawahan
Kadiri di daerah Malang, terjadi gejolak politik. Ken Arok membunuh
penguasa Tumapel Tunggul Ametung, dan mendirikan Kerajaan Singhasari
tahun 1222. Ken Arok lalu beraliansi dengan para brahmana dan berhasil
memberontak terhadap Kadiri. Dengan hancurnya Kadiri dan meninggalnya
Kertajaya, Kadiri kemudian menjadi wilayah bawahan Kerajaan Singhasari.
Raja-raja Kadiri
Berikut adalah nama-nama raja yang berkuasa di Kadiri:
• Sri Samarawijaya (1042-?) - adalah putra Airlangga yang menjadi raja pertama Kadiri
• Sri Jayawarsa (1104-1115) - tidak diketahui dengan pasti apakah ia pengganti langsung dari Samarawijaya atau bukan.
• Sri Bameswara (1116-1135)
• Sri Jayabaya (1135-1159) - raja pujangga dan terkenal dengan ramalannya Jangka Jayabaya
• Sri Sarweswara (1159-1161)
• Sri Aryeswara (1171-1174)
• Sri Gandra (1181)
• Kameswara (1182-1185)- terkenal di nusantara dalam cerita Panji
• Kertajaya (1185-1222) - adalah raja terakhir Kadiri
Kerajaan Singhasari

Kerajaan
Singhasari atau sering pula ditulis Singasari, adalah kerajaan di Jawa
Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini
diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.
Nama Asli Singhasari
Berdasarkan
prasasti Kudadu, sesungguhnya nama resmi Kerajaan Singhasari adalah
Kerajaan Tumapel. Dalam Nagarakretagama disebutkan bahwa, ketika pertama
kali didirikan tahun 1222, nama ibu kota Kerajaan Tumapel adalah
Kutaraja.
Pada tahun 1254, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya
yang bernama Kertanagara sebagai raja muda, dan mengganti nama ibu kota
menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota justru
kemudian lebih terkenal dari pada nama Tumapel.
Dalam berita Cina Kerajaan Tumapel sering disebut Tu-ma-pan.
Berdirinya Kerajaan Tumapel
Dalam
naskah Pararaton disebutkan bahwa, Tumapel semula hanyalah sebuah
daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Akuwu (camat) Tumapel saat itu bernama
Tunggul Ametung. Ia kemudian mati dibunuh pengawalnya sendiri yang
bernama Ken Arok melalui suatu cara yang sangat licik. Ken Arok kemudian
menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan
Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan
antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para pendeta itu
lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok. Perang akhirnya terjadi antara
pasukan Kadiri melawan pasukan Tumapel di desa Ganter. Pihak Kadiri
kalah. Ken Arok lalu mengangkat diri sebagai raja pertama Tumapel
bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Naskah Nagarakretagama juga
menyebut tahun yang sama untuk pendirian kerajaan Tumapel. Namun tidak
dijumpai adanya nama Ken Arok. Dalam kitab karya Mpu Prapanca tersebut,
pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra.
Prasasti
Mula Malurung yang diterbitkan Kertanagara tahun 1255, menyebutkan
kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin ini adalah
gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah
pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Raja-Raja Tumapel atau Singhasari
Terdapat perbedaan antara Pararaton dan Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singhasari.
Raja-raja Tumapel versi Pararaton adalah:
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222-1247)
2. Anusapati (1247-1249)
3. Tohjaya (1249-1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250-1254)
5. Kertanagara (1254-1292)
Raja-raja Tumapel versi Nagarakretagama adalah:
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222-1227)
2. Anusapati (1227-1248)
3. Wisnuwardhana (1248-1254)
4. Kertanagara (1254-1292)
Kisah
suksesi raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai pertumpahan darah
yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak
tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir).
Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya
Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.

Ken Dedes
Sementara
itu dalam versi Nagarakretagama tidak diberitakan adanya pembunuhan
antara raja pengganti terhadap raja sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi
karena Nagarakretagama adalah kitab pijian untuk Hayam Wuruk raja
Majapahit. Peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk tersebut
dianggap sebagai aib.
Di antara nama para raja di atas hanya
Wisnuwardhana dan Kertanagara yang didapati menerbitkan prasasti sebagai
bukti kesejarahan mereka. Prasasti Mula Malurung misalnya, ternyata
menyebut Tohjaya sebagai raja bawahan di Kadiri, bukan raja Tumapel. Hal
ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagara kretagama.
Prasasti
tersebut dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan di
Kadiri. Jadi, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun 1254 perlu
dibetulkan. Yang benar adalah, Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri
dahulu. Baru pada tahun 1268 atau 1270, ia bertakhta di Singhasari.
Pemerintahan Wisnuwardhana dan Narasingamurti
Dalam
Nagarakretagama dikisahkan adanya pemerintahan bersama antara
Wisnuwardhana dan Narasingamurti yang naik takhta pada tahun 1248. Dalam
Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.
Apabila
kisah pembunuhan berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka
dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya
rekonsiliasi. Wisnuwardhana adalah cucu Tunggul Ametung sedangkan
Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.
Pemerintahan bersama antara
Wisnuwardhana dan Narasingamurti yang digambarkan bagai Wisnu dan Indra
itu merupakan suatu upaya untuk menghentikan perseteruan antara keluarga
Tunggul Ametung dan Ken Arok yang telah menewaskan raja-raja
sebelumnya.
Pemerintahan Kertanagara (1268 - 1292)
Kertanagara
adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari
(1268-1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar
Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Pamalayu untuk menjadikan
pulau Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi kekuasaan
Mongol. Pasukan itu mengalami kemenangan menaklukkan raja Kerajaan
Melayu pada tahun 1286.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan
ekspedisi penaklukan ke Bali, dan sejak itu Bali menjadi wilayah
Kerajaan Singhasari. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan
ke Singhasari untuk meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun
permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara.
Runtuhnya Kerajaan Tumapel - Singhasari
Kerajaan
Singhasari yang sibuk mengirimkan pasukan perangnya ke luar Jawa
akhirnya mengalami keropos pada bagian dalamnya. Pada tahun 1292 terjadi
pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang. Ia adalah sepupu,
sekaligus ipar, sekaligus pula besan dari Kertanagara. Dalam serangan
itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang membangun ibu kota baru di Kadiri.
Hubungan Singhasari dan Majapahit
Dikisahkan
dalam Pararaton, Nagarakretagama, ataupun prasasti Kudadu, bahwa Raden
Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari
maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia
kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa
Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol untuk menaklukkan
Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di
Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti
mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.
Raden Wijaya kemudian
mendirikan Kerajaan Majapahit dan menyatakan dirinya sebagai penerus
Dinasti Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
Kerajaan Majapahit

Peta Kerajaan Majapahit
Majapahit
adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293
hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian timur. Kerajaan ini
pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak
wilayah lain di Nusantara. Majapahit dapat dikatakan sebagai kerajaan
terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara dan termasuk yang
terakhir sebelum berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam di
Nusantara
Sumber catatan sejarah
Sumber utama yang digunakan
oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa
Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuna. Pararaton terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat
beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu,
Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuna yang ditulis pada masa
keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu,
hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti
dalam bahasa Jawa Kuna maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan
negara-negara lain.
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa
tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu
memuat unsur non-historis dan mitos. Namun demikian, garis besar
sumber-sumber tersebut sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok.
Khususnya, daftar penguasa dan keadaan kerajaan ini tampak cukup pasti.
Sejarah Berdirinya Majapahit
Sesudah
Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun
1290, kekuasaan Singhasari yang naik menjadi perhatian Kubilai Khan di
China dan dia mengirim duta yang menuntut upeti. Kertanagara penguasa
kerajaan Singhasari menolak untuk membayar upeti dan Khan
memberangkatkan ekspedisi menghukum yang tiba di pantai Jawa tahun 1293.
Ketika itu, seorang pemberontak dari Kediri bernama Jayakatwang sudah
membunuh Kertanagara. Kertarajasa atau Raden Wijaya, yaitu anak menantu
Kertanegara, kemudian bersekutu dengan orang Mongol untuk melawan
Jayakatwang. Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut.
Pada tahun 1293 itu pula
Raden Wijaya membangun daerah kekuasaannya di tanah perdikan daerah
Tarik, Sidoarjo, dengan pusatnya yang diberi nama Majapahit. Ia
dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawarddhana.
Kejayaan Majapahit
Penguasa
Majapahit paling utama ialah Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun
1350 hingga 1389. Pada masanya, keraton Majapahit diperkirakan telah
dipindahkan ke Trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto).
Gajah
Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas
kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu
beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit
menduduki Palembang[4], menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.
Menurut
Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit
meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah
Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua
(Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara[. Namun demikian, batasan
alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut
tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi
terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa
monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim
duta-dutanya ke China.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai
puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah.
Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun
1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah
terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan
pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun
1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala
yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah
tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun
1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah
kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh
candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11
Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Ketika Majapahit didirikan,
pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara.
Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan
perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka,
mulai muncul di bagian barat nusantara.
Catatan sejarah dari China,
Portugis, dan Italia mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan
kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus,
penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
Kebudayaan
Ibu
kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan
perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama
Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk
Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun
Wisnu. Nagarakertagama tidak menyebut keberadaan Islam, namun tampaknya
ada anggota keluarga istana yang beragama Islam pada waktu itu.
Walaupun
batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek
Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit
berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah pohon anggur
dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang
masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di
Trowulan, Mojokerto.
Ekonomi
Majapahit merupakan negara
agraris dan sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat
sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di
ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di
Jawa.

Gobog, uang kerajaan majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor
Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua,
sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang
keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak,
timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da
Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada
tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan
emas, perak, dan permata.
Struktur pemerintahan
Majapahit
memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi
tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja
dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas
politik tertinggi.
Aparat Birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah
pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra
dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya
diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
• Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
• Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
• Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
• Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting
yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat
dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula
semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara
raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Di
bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut
Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat
raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan
upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam
Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit
dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang
bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Daha
Jagaraga
Kabalan Kahuripan
Keling
Kelinggapura Kembang Jenar
Matahun
Pajang Singhapura
Tanjungpura
Tumapel Wengker
Wirabumi

Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat
periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8)
dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan
Majapahit menjadi dua kelompok.
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
Warisan sejarah
Majapahit
telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa Indonesia
pada abad-abad berikutnya. Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang,
dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka
melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya
melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton
Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang
dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas
Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri
memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit.
Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha
membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit —
sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti
penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut.
Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan
masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan
Majapahit.
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk
mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20,
telah merujuk pada Majapahit sebagai contoh gemilang masa lalu
Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara
Republik Indonesia saat ini. Dalam propaganda yang dijalankan tahun
1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang
masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang
diromantiskan. Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan
persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan
perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara. Sebagaimana Majapahit,
negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik
berpusat di pulau Jawa.
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata
dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran
bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam
kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai
bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di
Bali masa kini.
Candi Tikus menunjukkan kuatnya pengaruh Hindu pada masa kerajaan Majapahit.
Majapahit dalam kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan
berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber
inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk
menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar
beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.
Puisi lama
•Serat
Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena
menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa
Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan
dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Budha"
ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.
Komik dan strip komik
•Serial
"Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil
latar belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier
Mada (Gajah Mada), adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.
•Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.
•Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
•Strip
komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar
"Kompas" edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga
Majapahit bernama Panji Koming.
Roman/novel sejarah
•Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane.
•Zaman
Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan akhir masa
Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar terbunuhnya
Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.
•Senopati Pamungkas
(1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan awal
berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo
Atmowiloto.
•Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman
karya Hermawan Achsan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari
Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristia Bubat.
•Gajah Mada (2005),
sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada
dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.
Film/Sinetron
•Tutur
Tinular, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara
radio. Kisah ini berlatar belakang Singhasari pada pemerintahan
Kertanegara hingga Majapahit pada pemerintahan Jayanagara.
•Saur
Sepuh, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara
radio yang populer pada awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih berfokus
pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit pula.
•Walisongo,
sinetron Ramadhan tahun 2003 yang berlatar Majapahit di masa Brawijaya V
hingga Kesultanan Demak di zaman Sultan Trenggana.
Kerajaan Pajajaran

Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
• Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
• Galuh Pakuan beribukota di Kawali
• Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
• Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
• Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
• Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
• Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
• Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
• Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
• Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan
Kerajaan
Pajajaran adalah sebuah kerajaan Hindu yang diperkirakan beribukotanya
di Pakuan (Bogor) di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah kuno nusantara,
kerajaan ini sering pula disebut dengan nama Negeri Sunda, Pasundan,
atau berdasarkan nama ibukotanya yaitu Pakuan Pajajaran. Beberapa
catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri
Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.
Sejarah
kerajaan ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya
di daerah Jawa Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Galuh, dan Kawali. Hal ini karena pemerintahan Kerajaan
Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dari
catatan-catatan sejarah yang ada, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan
ini; antara lain mengenai ibukota Pajajaran yaitu Pakuan. Mengenai
raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara
naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga
Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.

Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, peninggalan Raja Punawarman
Raja Raja Pajajaran
1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1567 – 1579)
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Berakhirnya
jaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA
SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke
Surasowan di Banten oleh pasukan MAULANA YUSUF.
Batu berukuran 200 x
160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik
waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka
tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua,
dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan
Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan
di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang
Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat itu diperkirakan
terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu menetap
di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan lama yang ketat,
dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan
Mataram (Hindu-Buddha), sering disebut dengan Kerajaan Mataram Kuna
sebagai pembeda dengan Mataram Baru atau Kesultanan Mataram (Islam),
adalah suatu kerajaan yang berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara
abad ke-8 dan abad ke-10. Kerajaan Mataram terdiri dari dua dinasti,
yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang bercorak
Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa saat kemudian,
Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu
pada tahun 752. Kedua wangsa ini berkuasa berdampingan secara damai.
Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di
masa raja Balitung.

Peta Kerajaan Mataram
Wangsa Syailendra
Wangsa
Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan
Kamboja). Wangsa ini bercorak Buddha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada
tahun 752. Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan
dibanding Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812),
Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga
melakukan perkawinan politik: puteranya, Smaratungga, dinikahkan dengan
Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang
dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana
selama beberapa tahun. Peninggalan terbesar Wangsa Syailendra adalah
Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja
Smaratungga (812-833).

Wangsa Sanjaya
Wangsa
Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya/ Rakryan Jamri/Prabu Harisdama,
cicit Wretikandayun, raja kerajaan Galuh pertama. Pada saat menjadi
penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan
kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan
Sanjaya.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Maharani SIMA dari Kalingga, di Jepara.
Ayah
dari Sanjaya adalah Bratasenawa/SENA/SANNA, Raja Galuh ketiga. Sena
adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh
kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dilengser dari takhta Galuh oleh
PURBASORA.
Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu,
tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat
kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Raja Tarusbawa. Ironis
sekali, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanagara, sehingga kerajaan
Tarumanagara terpecah dua menjadi kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh'
Di
kemudian hari Sanjaya yang adalah penerus Kerajaan Galuh yang sah,
menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengser Purbasora.
Setelah itu ia menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723 -
732M), sehingga bekas wilayah kekuasaan Tarumanagara dapat disatukan
kembali dalam satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh.
Sebagai ahli
waris Kalingga Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara
yang disebut Bumi Mataram pada 732 M[rujukan?]. Dengan kata lain,
Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga/Kerajaan Mataram
(Hindu). Pada masa ini telah terbentuk semacam ikatan kekerabatan di
antara kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini memengaruhi berbagai
keputusan politik pada masa-masa selanjutnya (misalnya saat penaklukan
Nusantara oleh Majapahit).
Kekuasaan di Jawa Barat lalu diserahkan
kepada putera Sanjaya dari Tejakencana, putri Raja Tarusbawa dari
kerajaan Sunda, yaitu Tamperan atau Rakryan Panaraban sedangkan penerus
Sanjaya di Kerajaan Mataram adalah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya
dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban/Tamperan adalah saudara
seayah lain ibu.
Pemimpin Mataram selanjutnya berturut-turut adalah:
Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung. Rakai Garung memiliki
anak yaitu Rakai Pikatan.
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi
pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856),
puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya
yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha.
Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga
dan Dewi Tara). Tahun 850, era Wangsa Syailendra berakhir yang ditandai
dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja
Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi
Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra
Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan
istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang).
Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi, atau mendapat
serangan dari Sriwijaya.
Dara Jingga
Di tahun 1288, Kerajaan
Dharmasraya, termasuk Kerajaan Sriwijaya, menjadi taklukan Kerajaan
Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Adwaya Brahman
dan Senopati Mahesa Anabrang, dalam ekspedisi Pamalayu 1 dan 2. Sebagai
tanda persahabatan, Dara Jingga menikah dengan Adwaya Brahman dari
Kerajaan Singasari tersebut. Mereka memiliki putra yang bernama
Adityawarman, yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dan
sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa sebagai penguasa
Kerajaan Dharmasraya berikut jajahannya, termasuk eks Kerajaan Sriwijaya
di Palembang. Anak dari Adityawarman, yaitu Ananggawarman, menjadi
penguasa Palembang di kemudian hari. Sedangkan Dara Jingga dikenal
sebagai Bundo Kandung/Bundo Kanduang oleh masyarakat Minangkabau.
Dara Petak
Di
tahun 1293, Mahesa Anabrang beserta Dara Jingga dan anaknya,
Adityawarman, kembali ke Pulau Jawa. Dara Petak ikut dalam rombongan
tersebut. Setelah tiba di Pulau Jawa ternyata Kerajaan Singasari telah
musnah, dan sebagai penerusnya adalah Kerajaan Majapahit. Oleh karena
itu Dara Petak dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian
memberikan keturunan Raden Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara
setelah menjadi Raja Majapahit kedua.
Kerajaan Sunda

Karajaan
Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang
berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan
oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah
primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu
kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten,
Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan
perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang
mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada
awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian,
Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di
sebelah timur adalah sungai Cipamali (yang saat ini sering disebut
sebagai kali Brebes) dan sungai Ciserayu (yang saat ini disebut Kali
Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan
perjalanannya, Summa Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah
kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
Sementara orang
menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian
orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa
ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus
legoa. Ujungnya adalah Cimanuk.
menurut naskah Wangsakerta,
wilayah kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi
Provinsi Lampung melalui pernikahan antar keluarga kerajaan Sunda dan
Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat
Sunda.
Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa
Kerajaan Sunda
sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa saperti Inggris,
Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan
politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, kerajaan Sunda
menandatangani perjanjian Sunda-Portugis dimana dalam perjanjian
tersebut Portugis dibolehkan membangun benteng dan gudang di pelabuhan
Sunda. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer
kepada kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon
yang memisahkan diri dari kerajaan Sunda.
Sejarah
Sebelum berdiri
sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara.
Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga
tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi
Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda,
sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri
Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah
Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya,
Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702)
memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh
yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga
menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya
memindahkan kekuasaannya ke Sunda, sedangkan Tarumanagara diubah menjadi
bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9
Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda
dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum
(Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Kerajaan kembar
Putera
Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa
ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai
seorang putera, Rahyang Tamperan. Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723),
kekuasaan Sunda jatuh ke Sanjaya, yang di tahun itu juga berhasil
merebut kekuasaan Galuh dari Rahyang Purbasora (yang merebut kekuasaan
Galuh dari ayahnya, Bratasenawa/Rahyang Séna). Oleh karena itu, di
tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Untuk meneruskan
kekuasaan ayahnya yang menikah dengan puteri raja Keling (Kalingga),
tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya,
Tamperan. Di Keling, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun
(732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara,
Rarkyan Panangkaran.
Rahyang Tamperan berkuasa di Sunda-Galuh selama
tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang
Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang
Banga (Hariang Banga) di Sunda. Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana
Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya
menguasai Sunda dari tahun 759.
Dari Déwi Kancanasari, keturunan
Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan
Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun
(766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan,
Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan
Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri),
yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795). Karena Rakryan
Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda
lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi
Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan
Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah
dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh
juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi
(813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan
Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal
Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh,
Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari
Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke
putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada
putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading
menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh
adikna, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28
tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun
942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut
kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang
Limburkancana (954-964). Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena
tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke
adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan
kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh
cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang,
kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat
prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah
menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa, mertua raja Erlangga
(1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada
putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu
Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh
putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu
Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah
selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari
Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan
kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya
(Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa,
kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan
Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun
(1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu
Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh
keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya
mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke
menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu
Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan
diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357),
yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena
saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil,
kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu
Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali
lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin
selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia
mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi
kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).
Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat
pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab
sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari Nay
Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di
daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan
ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana)
dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan
Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga
Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke
putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa
(1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567),
serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu
Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir,
sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan dari Kesultanan
Banten, di tahun 1579 kekuasaannya runtuh.
Raja-raja Kerajaan Sunda
Di
bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut
naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
1. Tarusbawa (minantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang pernah berdiri secara
independen di wilayah Kepulauan Nusantara bagian barat dari abad ke-7
(bahkan mungkin sebelumnya) hingga abad ke-12. Setelah didahului serbuan
dari Kerajaan Chola dari India Selatan dan Kerajaan Singasari dari Jawa
yang melemahkan kekuatan militernya, Sriwijaya menjadi kerajaan
taklukan tetangganya, Kerajaan Melayu Jambi dan bertahan hingga
berdirinya Kerajaan Majapahit, sebelum akhirnya benar-benar runtuh pada
abad ke-14. Pusat pemerintahannya kemungkinan besar di sekitar
Palembang, Sumatra, meskipun ada pendapat lain yang menyebutkan Ligor di
Semenanjung Malaya sebagai pusatnya.

Peta beberapa kerajaan di Asia Tenggara, termasuk Sriwijaya pada akhir abad ke-12.
Walaupun
pada masa kebesarannya diketahui memiliki pengaruh politik, ekonomi,
dan budaya yang besar, meliputi Indonesia bagian barat, Semenanjung
Malaya, Siam bagian selatan, dan sebagian Filipina, kerajaan ini sama
sekali tidak meninggalkan naskah tulisan atau sastra sama sekali,
kecuali beberapa prasasti batu atau keping tembaga serta bahasa Melayu
di pesisir-pesisir kepulauan Nusantara yang menjadi akar dari bahasa
Indonesia. Keberadaannya malah banyak diketahui dari tulisan-tulisan
musafir Tiongkok dan Arab. Namun demikian, banyak ditemukan
peninggalan-peninggalan berupa benda-benda keramik dan beberapa bangunan
yang dibuat dari batu bata.
Raja-Raja Sriwijaya
Berikut ini adalah nama raja-raja Sriwijaya:
Samarawijaya
Sri Bameswara
Jayabaya
Kertajaya
Catatan-catatan mengenai Sriwijaya
Berikut ini adalah beberapa sumber sejarah yang diketahui berkaitan dengan Sriwijaya:
Berbahasa Sanskerta atau Tamil
Prasasti Ligor di Thailand
Prasasti Kanton di Kanton
Prasasti Siwagraha
Prasasti Nalanda di India
Piagam Leiden di India
Prasasti Tanjor
Piagam Grahi
Prasasti Padang Roco
Prasasti Srilangka
Sumber berita Tiongkok :
Kronik dari Dinasti Tang
Kronik Dinasti Sung
Kronik Dinasti Ming
Kronik Perjalanan I Tsing
Kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
Kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
Kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
Kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan
Prasasti berbahasa Melayu Kuna
Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang
Prasasti Talang Tuo
Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang
Prasasti Telaga Batu
Prasasti Palas Pasemah abad ke-7 Masehi di Lampung Selatan
Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi
Prasasti Karang Brahi
Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P. Bangka
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi di Pekalongan - Jawa Tengah
Pengaruh budaya
Kerajaan
Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama
Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha
diperkenalkan di Srivijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan
pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai
kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad
ke-7 hingga abad ke-9.
Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan
kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan pulau
Kalimantan bagian Barat.
Pada masa yang sama, agama Islam memasuki
Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan
pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya,
Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan
mendirikan Kesultanan Melaka.
Agama Buddha aliran Buddha Hinayana
dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan
Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1017,
1025, dan 1068, Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan
Colamandala(India) yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada
serangan kedua tahun 1025, raja Sri Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan.
Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas
perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun.
Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan
diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di
bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan
kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya
melemah. Berita bahwa kerajaan Melayu Jambi takluk kepada Majapahit
hingga sekarang masih diragukan kebenarannya. Karena setelah
kemundurannya wilayah sumatera bagian selatan merupakan daerah tanpa
kekuasaan dan pusat bajak laut Selat Malaka.
Kerajaan Tarumanagara

Pelabuhan Kerajaan Tarumanegara
Sejarah
Bila
menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada
penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama
kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan
sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417
ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112
tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan
selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Prasasti
1.Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2.Prasasti
Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya,
Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti
tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun
ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan
untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada
masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim
kemarau.
3.Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang, ditemukan di
aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul,
Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
4.Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5.Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6.Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7.Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Prasasti Tarumanegara
Salah Satu Prasasti dari kerajaan Tarumanegara, prasasti ini ditemukan di daerah Tugu
Lahan
tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar
dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai
abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu
termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan
Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai"
yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten.
Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil
perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk
mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman
ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan
perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model
aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman
ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya
sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir Muara
Di
Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh
dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini
tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini
tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8)
panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja
Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti
ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka
prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti
Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari
pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981
diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan
Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi
empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua
(jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan
raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa
Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang "pandatala"
(jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya
seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti
Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan
kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II,
sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa
pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir
Muhara.
Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua
jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti
Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut
mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa
perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi
Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama
Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga,
bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di
atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman
berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu
dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing
perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan
nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh
para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan
bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda
di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah,
matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran
sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam
segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui
kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti Jambu
Di
daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu
peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa
Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai)
Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi
keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo
narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma
pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam
arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati
sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang
termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya
bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya
tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua
jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng
musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang
setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
Naskah Wangsakerta
Penjelasan
tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta. Sayangnya,
naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan
naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.
Pada Naskah
Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru
Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya,
Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali
Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
Maharaja
Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia
membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat
ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda"
digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M.
Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah
Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa,
parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam
masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak
penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas
daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara.
Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai
lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam
prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara
yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di
daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah
daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat
penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Baik sumber-sumber
prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa
Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di
Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai
Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162)
menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah
yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada
Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa
Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas
kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran
Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam
tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah
status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat
pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa
dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak),
yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai
tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari
Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat pemerintahan beralih dari
Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi
kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu
Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di
India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan
ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman
tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan
kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan
sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur.
Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan
kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan,
Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota
Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit
Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara
sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669,
Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya,
Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung
bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua
bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri
Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh
kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.
Kekuasaan
Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena
Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya
sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan
Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang
tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi
wilayah Tarumanagara.
Raja-raja Tarumanagara menurut Naskah Wangsakerta
Raja-raja Tarumanegara
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10.Hariwangsawarman 639-640
11.Nagajayawarman 640-666
12.Linggawarman 666-669
Kerajaan Melayu Jambi

Sejarah
Jambi
merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini
sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita China. Ini
merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan
Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah
berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M),
Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan
sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak
sejarah.
Dalam sejarahnya, negeri ini pernah dikuasai oleh beberapa
kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka
hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda
bahwa Jambi sangat penting pada masa dulu. Bahkan, berdasarkan temuan
beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Setelah
Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu
Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao
yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan
dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7, M di
masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi
telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari
Sriwijaya yang berdiri tahun 670.
Teks Melayu Tertua
Harus
diakui bahwa, sejarah tentang Melayu kuno ini masih gelap. Sampai
sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri
Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan
daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi
merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama
berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah
tersebut, maka, sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan
lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Aditywarman
mendirikan Kerajaan Swarnabhumi di daerah ini pada pertengahan abad
ke-14 M.
Sebelum bercerita lebih banyak mengenai Aditywarman, ada
baiknya tulisan ini diawali dengan pemaparan sejarah leluhur
Adityawarman di tanah Melayu ini. Ketika Sriwijaya berdiri, Kerajaan
Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya
runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para
bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang
Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu
berdiri, tapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah
abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, keadaan berbalik, Kerajaan Melayu
Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.
Kerajaan
Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu, namanya adalah
Dharmasraya. Sayang sekali, hanya sedikit catatan sejarah mengenai
Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja
Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari
pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara
Petak
Menjelang akhir abad ke-13, Kartanegara mengirim dua kali
ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan
II. Dalam ekspedisi pertama, Kartanegara berhasil menaklukkan Kerajaan
Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Jawa
versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kartanegara menaklukkan Jambi pada
tahun 1275 M.
Pada tahun 1286 M, Kartanegara mengirimkan sebuah arca
Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya. Raja dan rakyat Dharmasraya sangat
gembira menerima persembahan dari Kartanegara ini. Sebagai tanda
terimakasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian
mengirimkan dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa
ke Singosari. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan
melahirkan Aditywarman. Ketika utusan Kartanegara ini kembali ke tanah
Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singosari telah hancur akibat serangan
Jayakatwang dan pasukan Kubilai Khan. Sebagai penerus Singosari, muncul
Kerajaan Majapahit dengan raja pertama Raden Wijaya. Dara Petak
kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk diperistri. Dari
perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet. Ketika Kalagemet menjadi
Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri Jayanegara.
Demikianlah,
keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga,
yaitu Aditywarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit.
Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke
Sumatera, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit,
Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatera, ia bukannya menjaga
keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk
melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah
daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan
Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan
oleh kerajaan baru: Swarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di
wilayah Jambi saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang
dipimpin Aditywarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama
kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal
juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini,
Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan
Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad
ke-14.
Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di
perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah
kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang
ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis,
Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul
Kerajaan Johor-Riau di perairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan
Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri
ini.
Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor
berperang melawan Portugis di Malaka. Kemudian, memanfaatkan situasi
yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis,
Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri
ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali
peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran
tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan,
Jambi berhasil menghancurkan ibukota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas
dari kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor
kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi.
Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan
Johor.
Silsilah
Di masa Kerajaan Dharmasraya, raja yang
dikenal hanyalah Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297).
Sementara raja-raja yang lain, belum didapat data yang lengkap. Di masa
Kerajaan Swarnabhumi, rajanya yang paling terkenal adalah Aditywarman.
Namun, ketika bergabung dengan Minangkabau, maka silsilah raja yang ada
merupakan silsilah raja-raja Minangkabau.
Periode Pemerintahan
Agak
rumit memaparkan bagaimana periode pemerintahan berlangsung di Jambi,
jika pemerintahan tersebut diandaikan sebuah kerajaan merdeka yang bebas
dari pengaruh kekuasaan lain. Berdasarkan sedikit data sejarah yang
tersedia, tampaknya Jambi menikmati masa bebas dari pengaruh kerajaan
lain hanya di masa Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika Sriwijaya
berdiri, Jambi menjadi daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut
beberapa sumber yang, tentu saja masih diperdebatkan, Jambi pernah
menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya runtuh dan muncul
kekuatan Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari.
Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi
wilayah taklukan Majapahit.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jambi
menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman. Ketika
pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi
bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul
sebagai sebuah kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari
wilayah Malaka. Malaka runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi
menjadi bagian dari Kerajaan Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi
target ekspansi setiap kerajaan besar yang berdiri di Nusantara ini.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah
Kerajaan Jambi meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Batang Hari yang
sekarang menjadi wilayah Propinsi Jambi, yang berbatasan dengan wilayah
Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan.
Struktur Pemerintahan
Di
masa Jambi masih menjadi kerajaan merdeka, kerajaan dipimpin oleh
seorang raja. Namun, belum ada kejelasan, apa status pemimpin
daerah-daerah di Jambi, selama negeri ini menjadi bagian dari wilayah
kerajaan lain.
Kehidupan Sosial Budaya
Beberapa benda
arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan bahwa, di daerah
ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah
Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa,
di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang
tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa,
orang-orang Jambi merupakan masyarakat yang religius. Ini hanyalah
sedikit gambaran mengenai kehidupan di Jambi. Bagaimana sisi sosial
budaya masyarakat secara keseluruhan? Sangat sulit untuk menggambarkan
secara detil, bagaimana kehidupan sosial budaya ini berlangsung,
mengingat data arkeologis yang sangat minim.